Jumat, 16 Maret 2012

Perbandingan Hukum Pidana Socialist Legal System



BAB I
PENDAHULUAN 

A.    Latar Belakang Socialist Law

Socialist Law adalah nama resmi untuk sistem hukum di negara-negara komunis. Kata sosialis ketika digunakan dalam hubungannya dengan hukum mengandung banyak arti berbeda diantara para ahli hukum. Pada dasarnya, kata “sosialis” menandakan filosofi dan ideologi yang berdasarkan yang pada umumnya mengacu ke pemikiran “Marxist-Leninist”. Ideologi sosialis selalu dihubungkan dengan prinsip bahwa keseluruhan hukum adalah instrumen dari kebijakan ekonomi dan sosial, dan kebiasaan Common Law dan Civil Law menggambarkan kapitalis, borjuis, imperialis, eksploitasi masyarakat, ekonomi dan pemerintahan. Teori Marxist dibangun diatas dasar doktrin “dialektikal/historikal materialisme” yang berpendapat bahwa masyarakat bergerak menuju berbagai tingkatan dan fase di dalam menjalaninya itu merupakan evolusi dan pembangunan. Itu kemungkinan dimulai tanpa sistem hukum, kemudian menjadi salah satu kepemilikan buruh, diikuti dengan tingkat dari abad pertengahan, sebelum bergerak menjadi kapitalisme, kemudian sosialisme sebelum akhirnnya hukum bertambah buruk di dalam masyarakat tanpa kelas tanpa kepentingan terhadap sistem hukum apapun karena semua manusia akan saling membicarakan keadilan satu sama lain. Quigley menggambarkan (lebih baik mendefinisikan): “socialist law as the law of countries whose governments officially view the country as being either socialist or moving from capitalism to socialism, and which hold a communistic society as an ultimate goal” yang artinya: “Hukum sosialis sebagai hukum negara-negara yang pemerintahnya secara resmi melihat negara sebagai salah satu sosialis atau bergerak dari kapitalisme ke sosialisme dan yang memegang teguh masyarakat komunistik sebagai sebuah tujuan akhir”. Christine Sypnowich, dalam bukunya “The Socialist Concept of Law” mendefinisikan: “Socialism as a society where private propety in the form of capital has been eliminated and replaced by common ownership of the means of production thereby permitting a large measure of equality and fraternity in social relations”, yang artinya: “Sosialisme sebagai suatu masyarakat dimana kepemilikan pribadi dalam bentuk modal telah dihapus dan diganti dengan kepemilikan umum dimana berarti produksi oleh karenanya diizinkan dalam ukuran besar dari persamaan dan persaudaraan di dalam hubungan kemasyarakatan”.
Teori Marxist-Leninist mengagung-agungkan kedudukan istimewa ekonomi dalam hubungan kemasyarakatan, dengan mengambil kekuatan mengikat dari politik dan hukum. Dalam istilah internasional, teori Marxist-Leninist berarti pengasingan dari dunia Barat, kadang-kadang meninggalkannya dengan interaksi yang selektif dengan pihak komunis asing. Hukum, ketika digunakan oleh pemimpin Soviet oleh karenanya telah menjadi alat belaka dalam merencanakan dan mengelola ekonomi dan struktur sosial dari negara. Hukum adalah bagian sederhana dari ideologi super struktur yang mengontrol kenyataan material dari produksi, dimana ditetapkan dan didefinisikan dalam kata dari fungsi politik. Kelompok negara-negara yang telah menerima socialist law dapat dibagi ke dalam dua kategori utama:
a)     Jurisdiksi sosialis kuno, seperti Polandia, Bulgaria, Hungaria, Czechoslovakia, Rumania, Albania, Repbulik Rakyat China, Republik Rakyat Vietnam, Republik Rakyat Demokratik Korea, Mongolia (merupakan sistem hukum nasionalnya yang tertua di dalam kelompok ini) dan Kuba.
b)     Sistem Hukum Sosialis yang terbaru atau yang kemudian berkembang, seperti Republik Demokratic Kamboja, Laos, Mozambique, Angola, Somalia, Libya, Ethiopia, Guiena dan Guyana.
Partai Komunis adalah badan yang benar-benar memerintah dan merencanakan pada sistem hukum sosialis. Sekali itu diputuskan sebagai bagian dari kebijakan, mereka mengkomunikasikan rencana mereka ke seluruh lembaga negara dan kebijakan ini akan diikuti legislatif, eksekutif dan yudisial.
Kelurga hukum ini muncul di Uni Soviet (federasi rusia) sejak tahun 1917 sejalan dengan revolusi proletar. Keluarga hukum ini merupakan keluarga hukum yang ketiga, berbeda dengan keluarga hukum terdahulu. Pada saat ini anggota keluarga hukum ini adalah Negara-negara yang menganut paham sosialis yang semula berasal dari keluarga hukum romano-germanic, dan mereka masih tetap mempertahankan karakter-karakter keluarga hukum ini. Pembagian hukum dan pengertian-pengertian hukum dalam keluarga hukuum inin  masih sama dengan keluarga hukum Romano-Germanic disisi lain terdapat perbedaan-perbedaan yag menonjol dimana eksistensi keluarga hukum sosialis berasal dari keadaan revolusi sehingga memiliki sifat-sifat  revolusioner. Hal ini tampak dari pandangan ahli-ahli hukum dari keluarga hukum ini, yang hendak merubah masyarakat dan menciptakan orde masyarakat baru dimana konsep dasar tentang Negara dan hukum akan menghilang.
Hukum menurut konsep Marxist leninisme adalah secara ketat merupakan subordinansi dari tugas utama menciptakan orde ekonomi baru. Konsekuensi dari padangan tentang hukum tersebut, maka dalam keluarga hukum ini, hubungan interaksi individu-individu sanggat dibatasi sehingga private law kehilangan perananya. Semua hukum sudah merupakan public law. Keluarga hukum ini dikembangkan atau dianut di Negara eropa dan asia. Uni Soviet berkarakter Romano-Germanic. Sedangkan yang dianut di negara diluar Uni Soviet sulit dideteksi karena sudah bercampur dengan kultur yang berkembang di negara-negara tersebut.[1]
Sistem hukum sosialis pada awalnya didasarkan pada system hukum civil, yang berkembang di Uni Soviet, terutama saat Revolusi Bolsefik, dimodifikasi dan ditambahkan ideology Marxist  dan Lenin. Hal ini untuk mencoba menghapuskan kekuasaan borjuis dengan mengunakan Negara dan masyarakat. jadi Negara menjadi komunis sosialis sedangkan mayarakatnya menjadi sosialis komunis.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Sosialis umumnya peringkat di antara sistem-sistem hukum utama di dunia. Namun, banyak pengamat kontemporer tidak lagi menganggap hal itu terjadi seperti itu, karena kesamaan dengan sistem hukum sipil dan fakta bahwa ia tidak lagi digunakan secara luas setelah pembongkaran sebagian besar negara komunis.
Meskipun pendekatan ekonomi komando negara-negara komunis berarti bahwa harta tidak dapat dimiliki, maka Uni Soviet selalu memiliki kode sipil, pengadilan yang menafsirkan kode sipil ini, dan pendekatan hukum sipil penalaran hukum (dengan demikian, baik proses hukum dan penalaran hukum sebagian besar analog dengan Perancis atau Jerman sistem kode sipil). Sistem hukum di semua negara sosialis diawetkan kriteria formal Romano-Jermanik hukum perdata, karena alasan ini, teori hukum di negara-negara pasca-sosialis. Sosialis biasanya menganggap hukum sebagai kasus khusus dari Jerman Romano-hukum sipil. Kasus perkembangan hukum umum dalam hukum Sosialis tidak diketahui karena ketidakcocokan prinsip-prinsip dasar kedua system.
Karakteristik Utama Sistem Sosialist Law
·      Pengakuan terhadap partai komunis dan idealis
·      Negara memiliki kekuasaan terhadap tanah (masyarakat pekerja)
·      Negara memiliki secara dominan terhadap perusahaan-prusahaan dan pendistribusiannya (representasinya partai komunis)
·      Membatasi kepemilikan pribadi.

Perbedaan antara Civil Law dan Socialist Systems

Kebanyakan sarjana hukum Barat berpendapat bahwa bentuk keluarga hukum sosialis terpisah dari keluarga hukum sipil. Bagaimanapun juga, pemikiran mereka yang menyakini bahwa socialist law adalah bentuk sederhana dari anggota kelompok civil law atau subspecies dari civil law. Banyak sarjana mengidentifikasi perbedaan antara socialist law dari civil law. Ini adalah sebagai rangkuman dari Quigley:
a)     Socialist law diprogram untuk menjauhkan keburukan yang tidak muncul dari kepemilikan pribadi dan kelas sosial dan perubahan ke aturan sosial umum.
b)     Negara-negara sosialis di dominasi oleh satu partai politik
c)     Dalam sistem sosialis, hukum adalah subordinasi untuk menciptakan aturan ekonomi, dimana hukum privat diserap oleh hukum publik.
d)     Socialist law mempunyai karakter religius-palsu

Sejarah, Definisi dan Manfaat Perbandingan Hukum Pidana.


Sejarah, Definisi dan Manfaat Perbandingan Hukum Pidana.
Sejarah dan latar belakang terbentuknya Perbandingan Hukum dalam Ilmu Hukum yaitu sejak studi perbandingan hukum telah dimulai ketika Aristoteles (384-322 SM) melakukan penelitian terhadap 153 konstitusi Yunani dan beberapa kota lainnya yang dimuat dalam bukunya yang berjudul Politics. Solon juga melakukan melakukan penelitian atau studi perbandingan hukum ketika menyusun hukum Athena (650-558 SM). Studi perbandingan hukum berlanjut pada abad pertengahan dimana dilakukan studi perbandingan antara hukum Kanonik dan hukum Romawi, dan pada abad 16 di Inggris telah memperdebatkan kegunaan hukum Kanonik dan hukum Kebiasaan. Studi perbandingan tentang hukum kebiasaan di Eropa pada waktu itu telah dijadikan dasar penyusunan asas-asas hukum perdata (ius civile) di Jerman. Montesquieu telah melakukan studi perbandingan untuk menyusun suatu asas-asas umum dari suatu pemerintahan yang baik. Perkembangan perbandingan hukum sebagai ilmu, relatif baru dimana istilah comparatif law atau droit compare baru dikenal dan diakui penggunaannya yang dimulai di daerah Eropa. Perkembangan pesat perbandingan hukum menjadi cabang khusus dalam studi ilmu hukum adalah bagian kedua pertengahan abad ke-18 yaitu yang dikenal sebagai era kodifikasi. Perkembangan pengakuan perbandingan hukum sebagai cabang ilmu hukum baru menghadapi kendala-kendala, antara lain disebabkan telah berabad lamanya, ilmu hukum yang sesuai dengan perintah Tuhan dan bersumber pada hukum alam (natural law) serta mencapai cita kelayakan, dan sangat kurang memperhatikan hukum dalam kenyataan atau penerapan hukum. Studi tentang hukum positif ketika itu diabaikan di perguruan tinggi, yang hanya mengajarkan hukum Romawi dan hukum Kanonik. Pada bagian terakhir dari abad ke-19 perbandingan hukum mulai disukai sebagai cara untuk membandingkan hukum-hukum di Eropa daratan, sejalan dengan memudarnya perhatian terhadap ius commune yang mengajarkan eksistensi hukum yang bersifat universal, serta lahirnya nasionalisme dalam bidang hukum yang ditandai oleh berperannya kodifikasi. Kodifikasi hukum pertama setelah munculnya nation state, terjadi di Perancis, dikenal dengan Code de Napoleon. Nasionalisasi hukum tersebut dipengaruhi oleh Von Savigny, seorang tokoh aliran sejarah hukum. Sekalipun pengakuan terhadap perbandingan hukum sebagai disiplin hukum terjadi pada abad ke 19, akan tetapi perkembangan yang sangat pesat terjadi pada abd ke-20. Pertanyaan mendasar yang dikembangkan pada abad ke-19 adalah sebagai berikut:
a.    Tujuan dan sifat perbandingan hukum ;
b.    Kedudukan perbandingan hukum dalam kerangka ilmu hukum;
c.    Karakteristik dan metode perbandingan hukum;
d.    Kemungkinan penerapannya dan kegunaan yang bersifat umum ; dan
Kontroversi tentang perbandingan hukum yang berdiri sendiri dan perbandingan hukum sebagai metode. Maka didalam konteks kerangka ilmu hukum, kedudukan perbandingan hukum (perbandingan hukum pidana) sebagai disiplin hukum merupakan salah satu ilmu kenyataan hukum, disamping sejarah hukum,/sosiologi/hukum,/antropologi/hukum,/dan/psikologi/hukum.

Kita membutuhkan ilmu perbandingan hukum dikarenakan (menurut Van Apeldorn) beberapa tujuannya/berikut/:
a.    Tujuan yang bersifat teoritis yaitu untuk menjelaskan hukum sebagai gejala dunia (universal) dan oleh     karena itu ilmu pengetahuan hukum harus dapat memahami gejala dunia tersebut. Dan untuk itu harus dipahami hukum di masa lampau dan hukum di masa sekarang
b.    Tujuan yang bersifat praktis yaitu merupakan alat pertolongan untuk tertib masyarakat dan pembaharuan hukum nasional serta memberikan pengetahuan berbagai peraturan dan pikiran hukum kepada pembentuk undang-undang, juga hakim.
c.    Tujuan yang bersifat politis yaitu mempelajari perbandingan hukum untuk mempertahankan “status quo” dimana tidak ada maksud sama sekali mengadakan perubahan mendasar di Negara yang berkembang. 
d.    Tujuan yang bersifat pedagogis yaitu untuk memperluas wawasan mahasiswa sehingga mereka dapat berpikir inter dan multi disiplin, serta mempertajam penalaran dalam mempelajari hukum asing.

Menurut Soedarto bahwa kegunaan studi perbandingan hukum yaitu:
a.    Unifikasi hukum yaitu, adanya kesatuan hukum sebagiamana telah diwujudkan dalam konvensi hak cipta 1886 dan General Postal Convention, 1894 dan konvensi internasional lainnya.
b.    Harmonisasi hukum yaitu, hukum tetap dapat berdiri sendiri namun berjalan beriringan.
c.    Mencegah chauvinisme hukum nasional yaitu kita dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang hukum nasional yang berlaku sehingga kita mawas diri akan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada hukum pidana positif sehingga kita tidak melebih-lebihkan hukum nasional dan mengesampingkan hukum asing.
d.    Memahami hukum asing 
Misalnya : apabila Negara Kesatuan Republik Indonesia hendak mengadakan perjanjian internasional dengan Negara lain, lalu timbul kemudian masalah, maka untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut pihak NKRI mau tidak mau harus paham akan system hukum Negara yang menjadi lawannya (dalam sengketa).
Perdebatan antara kedudukan hukum sebagai metode dan ilmu masih berlangsung sampai sekarang. Beberapa pendapat pakar yang menyebutkan hukum sebagai metode ialah sebagai berikut :
a.    Winerton, mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yang membandingkan system-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data system hukum yang dibandingkan;
b.    Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang hukum tertentu;
c.    Gutterdige, menyatakan bahwa perbandingan hukum tidak lain merupakan suatu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang ilmu hukum;

Beberapa pendapat pakar yang menyebutkan perbandingan hukum sebagai ilmu ialah sebagai berikut :
a.    Soedarto, berpendapat bahwa perbandingan hukum merupkan cabang dari ilmu hukum dan karena itu lebih tepat menggunakan istilah perbandingan hukum dari istilah hukum perbandingan.
b.    Lemaire, mengemukakan perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan mempunyai lingkup kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya;
c.    Ole Lando, mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup analysis dan comparison of laws;
d.    Hessel Yutema, mengemukakan definisi perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari ilmu sosial atau seperti cabang ilmu lainnya yang bersifat universal;
Kesimpulannya, kedudukan perbandingan hukum tersebut muncul sebagai metode dan ilmu berdasarkan masanya sehingga ada juga kebenaran dari para pendapat tersebut. Namun perbandingan hukum sebagai ilmu lebih tepat dikarenakan lebih relevan dengan perkembangan masyarakat masa kini karena perbandingan hukum tidak hanya semata-mata sebagai alat untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dua system hokum yang berbeda satu sama lain, melainkan sudah merupakan studi tersendiri yang mempergunakan metode dan pendekatan khas yaitu metode perbandingan, sejarah dan sosiologis serta objek pembahasan tersendiri yaitu system/hukum/asing/tertentu.






·   Peranan Dan Manfaat Perbandingan Hukum Pidana Bagi Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
A. Manfaat Ilmiah dan Praktis

Apabila kita melakukan perbandingan hukum pidana maka hal itu adalah karena didorong adanya kebutuhan-kebutuhan akan manfaatnya bagi kita, di mana manfaat-manfaat tersebut secara garis besarnya dapat dibedakan dalam:

1. Manfaat perbandingan hukum pidana secara ilmiah.
Dengan membanding-bandingkan berbagai sistem hukum pidana dari berbagai negara maka pengetahuan kita tentang hukum dan pranata-pranatanya akan semakin dalam dan luas. Hal ini karena kita dapat melihat bahwa terhadap suatu problem atau kebutuhan yang sama dapat dicapai suatu penyelesaian atau problem solving yang berbeda-beda. Di samping itu dapat juga dilihat bahwa walaupun masyarakat dan kebudayaannya berbeda-beda tetapi dapat menyelesaikan persoalan yang sama dengan cara yang sama pula, sedang suatu masyarakat yang mempunyai budaya yang sama mungkin dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan cara yang berbeda. Hal ini tentulah akan memperluas cakrawala ataupun wawasan berpikir kita sekaligus menghindarkan diri dari kepicikan dan mempunyai anggapan yang baik berupa anggapan bahwa hukum kitalah yang terbaik (chauvinistis) dan menilai orang baik tidak baik atau menganggapbahwa sistem kita tidak baik dibandingkan dengan sistem hukum negara lain (rasa rendah diri).
Selanjutnya dengan perbandingan hukum dapat ditingkatkan kualitas pendidikan hukum. Para sarjana hukum akan mempunyai legalr reasoning tentang suatu lembaga hukum yang ada, di samping itu juga degan perbandingan hukum ini akan menimbulkan banyak inspirasi atas berbagai hal yang sekaligus merupakan usaha dan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum pidana yang nantinya dapat berguna dalam praktek.



2.    Manfaat Perbandingan Hukum Pidana bagi Kegiatan Praktis
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hukum asing banyak memberi bantuan dalam memecahkan persoalan-persoalan ang akan digunakan untuk pengembangan hukum sendiri. Oleh karena itu, perbandingan hukum sangat berguna bagi Pembuat Undang-Undang (Legislator) dalam badan legislatif. Bagi para Hakim, studi Perbandingan Hukum akan banyak manfaatnya. Oleh karena dengan membandingkan aturan perundang-undangan sendiri dengan aturan perundang-undangan asing mengenai hal yang sama, para Hakim bisa mendapat pandangan yang lebih baik mengnai arti ari aturan itu sendiri. Perbandinganhukum dapat memberi pengetahuan yang lebih baik untuk mentafsirkan suatu aturan perundang-undangan yang selanjutnya dapat melahirkan yurisprudensi-yuriusprudensi baru yang bermutu dan up to date.
Dengan makin eratnya hubungan antara negara yang satu dengan negara yang lain (adanya interdependensi antar negara) maka akan timbul kebutuhan yang sangat akan adanya persesuaian (harmonisasi hukum pidana yang satu dengan yang lain). Pada mulanya ini akan berpengaruh sekali dalam bidang perdagangan dan politik, tetapi terjadi suatu tindak pidana yang menimbulkan adanya titik-taut dalam hukum pidana maa terasalah perlunya harmoniasi hukum pidana antar negara itu. Sebagai contohnya dapat disebutkan adalah masalah-masalah kejahatan yang dapat diekstradisi.

B. Pembentukan Hukum Pidana Nasional yang Bermutu dan Up to Date

Indonesia sampai sekarang mewarisi KUHP yang berasal dari masa penjajahan Belanda, walaupun memang di sana-sini banyak yang sudah ditambah, diubah, dan diganti. Namun bagaimanapun juga, KUHP tersebut dahulu disusun sesuai dengan ideologi penjajah dan sudah pasti sebagian ketentuannya telah ketinggalan zaman (out to date). Oleh karena itulah kita sambut baik usaha pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehakiman, yang sedang berusaha mempersiapkan Rancangan KUH Pidana Nasional yang baru, yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini dan saat yang akan datang.
Dalam usaha untuk membentuk KUHP Nasional yang baru dan bermutu itulah kita suka atau tidak suka membutuhkan pengetahuan tentang berbagai sistem hukum pidana asing maupun juga dalam konteks ini Hukum Pidana Adat. Hal ini dikarenakan kita dapat mengambil bahan-bahan yang berguna bagi kita di Indonesia. Apalagi hukum pidana suatu negara modern harus mencerminkan “several world view”. Termasuk juga, sebagaimana disebutkan di atas, mempelajari hukum pidana adat Indonesia oleh karena KUHP yang baru nanti sudah tentu harus mencerminkan keperibadian Indonesia.
Dengan demikian para perencana undang-undang dan pembuat undang-undang pidana baik DPR maupun pihak pemerintahan dapat menarik manfaat dari studi perbandingan hukum pidana.
Ada beberapa ketentuan dalam KUHP Indonesia sekarang yang harus didekriminalisasi dan ada pula hal-hal yang terjadi dalam masyarakat yang perlu didekriminalisasi dengan segera untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Masalah yang berhubungan dengan Keluarga Berencana, penjualan alat-alat untuk menegah kehamilan yang dilarang dalam KUHP perlu ditinjau kembali. Selanjutnya hal-hal seperti kejahatan yang dilakukan oleh korporasio atau badan hukum, kejahgatan dalam kegiatan bursa saham perlu mendapat perhatian pula untuk dimasukkan ke dalam ketentuan undang-undang pidana.
KUHP Nasional yang baru harus mempunyai jangkauan puluhan tahun ke depan agar tidak berubah-ubah tiap sebentar. Untuk itulah hukum pidana negara lain yang telah puluhan tahun lebih maju kehidupannya perlu dipelajari.
Selanjutnya, studi perbandingan hukum pidana adalah untuk memenuhi perintah Pasal 32 UUD 1945 dan penjelasannya yang berbunyi:
Pasal 32 UUD 1945: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Penjelasan Pasal 32 UUD 1945:
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia. Kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Sebagai contoh oleh Prof. Oemar Seno Adji, S.H. dikemukakan bahwa dalam rancangan KUHP yang baru di buku I dicantumkan adanya suatu sanksi adat pidana sebagai memenuhi kewajiban adat dan pembayaran ganti kerugian khususnya kepada korban pelanggaran. Dalam peraturan-peraturan modern mengenai kompensasi ataupun restitusi kepada “victim” tersebut ketentuan adat dapat berkembang ke dalamnya.
            Dalam hal ganti rugi kepada victim ini dapat mengambil pengalaman dari penerapan Bab V KUHP Philipina tentang pertanggung jawaban Perdata yang antara lain menyatakan:

“ menyatakan setiap orang yang dipertanggungjawabkan pidana   karena suatu kejahatan  juga dipertanggungjawabkan karena kejahatan tersebut".

Dengan demikian dapatlah kita melihat bahwa perbandingan hukum pidana sangat perlu terutama dalam menyusun KUHP nasional yang baru, bermutu, dan up to date, serta dapat mengantisipasi permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dimasa sekarang dan yang akan datang.

·   Perbandingan Kelembagaan dan Fungsional
Ketidaksamaan terhadap sifat dan lingkup dari perbandingan hukum sangatlah serius sehingga lebih banyak klasifikasi yang dapat ditambahkan dalam studinya. Mempertimbangkan aktifitas dari perbandingan hukum dan bidang studinya, di terkait dengan lingkup perbandingan, maka dapat dilakukan melalui dua bentuk. Pertama, mempelajari dan membandingkan pelembagaan hukum dari dua atau lebih sistem hukum, yang dikenal dengan isitlah perbandingan kelembagaan; dan kedua yaitu perbandingan fungsional mengenai perbandingan peraturan hukum secara lebih terperinci, misalnya fungsi-fungsi dari hukum dan lembaga terkaitnya.
Perbandingan kelembagaan, dikenal juga dengan perbandingan struktur, adalah perbandingan terhadap lembaga yang mempunyai hubungan dengan hukum. Dalam metode ini terkait dengan fenomena dari sistem peradilan, konstitusi, pengangkatan dan pemindahan para hakim, pengacara, struktur dan sumber-seumber hukum, dan lain sebaginya. Metode perbandingan ini mencoba untuk mengklarifikasi dan membuktikan baik itu persamaan maupun perbedaan dari pelembagaan hukum tersebut, di mana hukum yang dibuat telah dijalankan di negara-negara berdasarkan hasil studi. Setelah mengadopsi perbandingan dari jenis tersebut, jika salah satunya dikembangkan lebih lanjut dan kemudian mencoba untuk mencari karakteristik khusus dari lembaga-lembaga itu, maka ia meletakan dirinya dalam bidang perbandingan fungsional.
Perbandingan fungsional yaitu studi dari proses dan kandungan hukum serta pelaksanaan riil dari berbagai fungsi yang ditawarkan oleh bermacam sistem hukum. Di sini, peraturan hukum beserta penyebab dan akibatnya akan dipelajari. Dengan demikian, jika seseorang memeriksa suatu masalah khusus dari hukum pidana Indonesia dengan negara lainnya, perbandingan tersebut dinamakan perbandingan fungsional.

- Nilai, Tujuan dari Perbandingan Hukum
Secara garis besar kegunaan, beberapa nilai dan tujuan dari perbandingan hukum adalah sebagai berikut:
1.    Pemahaman akan hukum yang lebih baik (pengetahuan);
2.    Membantu dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan dan badan reformasi hukum lainnya;
3.    Membantu sarana hukum dalam sistem peradilan;
4.    Membantu para pengacara untuk berpraktik;
5.    Mengisi kekosongan hukum
6.    Memahami hukum asing
7.    Pembaharuan hokum


Kesimpulan :
Terdapat beberapa hal penting yang perlu kita ingat terkait dengan topik perbandingan hukum (1) dan (2), diantaranya yaitu:
  1. Perbandingan adalah sumber yang sangat penting dalam perbandingan dan memahami sesuatu.
  2. Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan penelitian dengan cara memperbandingkan peraturan perundang-undangan dan institusi hukum dari satu negara atau lebih.
  3. Perbandingan hukum bergerak pada pertanyaan ilmiah dan juga merupakan metode studi.
  4. Fungsi utama dari perbandingan yurisprudensi yaitu untuk memfasilitasi legislasi dan perbaikan hukum secara praktis.
  5. Berbagai ahli hukum telah memberikan perbedaan klasifikasi dari perbandingan hukum.
  6. Klasifikasi oleh Gutteridge mengenai perbandingan hukum dipertimbangkan sebagai salah satu yang mempunyai nilai keseimbangan.
  7. Terdapat beberapa tujuan dan perbandingan hukum. Tujuan terpenting dan secara umum diterima yaitu untuk meningkatkan pemahaman akan sistem hukum dari negara lain.
  8. Perbandingan merupakan proses yang berbeda dengan teknik lain. Oleh karena itu diperlukan kemampuan khusus, pelatihan dan kualifikasi.





Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999, Undang-undang ini berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999 dan dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan (UU ini sebagai pengganti dari UU No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi) yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau Perekonomian negara pada khususnya serta  masyarakat pada umumnya.
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah :
-        Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
-        Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999).
Sedangkan yang dimaksud dengan Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a.      Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
b.      Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Adapun yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah :
Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. (sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3).
Penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.
Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat juga mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Adapun yang dimaksud dengan melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (sesuai dengan Pasal 2 ayat 1).
Tindak pidana korupsi  dalam undang-undang ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang  ini meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana. (sesuai dengan Pasal 4) Yang berbunyi sebagai berikut :
-        Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Maksudnya dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor  yang meringankan pidananya. Dalam Undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan pidana, hal ini tidak diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi sebelumnya yaitu UU No. 3 Tahun 1971. Undang-undang ini dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan  ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara (sesuai dengan Pasal 18).
            Sedangkan pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang ini adalah antara lain orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai dengan Pasal 1 ayat 2).
            Apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI, sedangkan proses penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa (sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27).
            Dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, undang-undang mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada Bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia (sesuai Pasal 29 tentang Rahasia Bank).
Undang-undang ini juga mengatur menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. (sesuai dengan pasal 28 dan Pasal 37).
            Sedangkan peran serta masyarakat dalam undang-undang ini juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum dan penghargaan setinggi-tingginya oleh Pemerintah. (sesuai dengan Pasal 41 UU ini dan Pasal 102, 103 KUHP).
            Dari uraian tersebut di atas maka dengan ini untuk mencapai tujuan lebih efektif sebagai wahana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang No.31 Tahun 1999 ini dilengkapi berbagai macam ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1971, adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
NO
ANCAMAN
UU 3/71
UU 31/99
PASAL




UU 3/71
UU 31/99
1
2
3
4
5
6






1
Ancaman pidana maksimal.
-   Seumur hidup
-   Pidana mati
-   Psl.28, 29, 30, 31, 32
-   Psl.2 (2)


-   Atau Pidana Penjara 20 th









2
Ancaman pidana minimum
-   Tidak ada ancaman pidana minimum
-   Ada Ancaman Pidana Minimum
-   Psl.28, 29, 30, 31
-   Psl.2 (1) 3,5,6,7,8, 10, 11,12






3
Ancaman Pidana Denda Maksimum
-   Maksimal Rp.30 juta
-   Maksimal 1 Milyar
-   Psl.28
-   Psl.2 (1)






4
Ancaman Pidana Denda Minimum
-   Tidak ada ancaman
-   Ada ancaman
-   Psl.28, 29,30,31
-   Psl.2 (1) 3, 5,7,8,10,11,12






5
Ancaman Pidana Tambahan/Pengganti
Tidak ada sanksi
-  Ada sanksi
-  Psl.34 C
-   18 (3)






           
            Dari uraian tersebut di atas tampak dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 lebih lengkap dan lebih berat ancaman pidananya dari pada undang-undang No.3 Tahun 1971, baik dari segi normatif maupun dari segi sanksinya. Di samping mengandung banyak kelebihan, ternyata dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 terdapat pula kekurangan-kekurangan yang sebagai undang-undang yang baru menggantikan undang-undang No. 3 Tahun 1971, di mana pembuat undang-undang yang baru tidak melengkapi dengan aturan peralihan. Hal ini berbeda pada waktu UU  No. 3 Tahun 1971 menggantikan UU No. 24 Prp Tahun 1960.  Pembuat Undang-undang mencantumkan Pasal 36 (UU 3 Tahun 1971) sebagai Aturan Peralihan yang berbunyi sebagai berikut :
Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan saat UU  Ini berlaku, tetapi diperiksa dan diadili setelah  UU ini berlaku, maka diberlakukan UU yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan.
            Peranan Aturan Peralihan adalah mengatur keadaan yang terjadi, namun belum dituntaskan penanganannya hingga lahirnya UU Baru. Tidak dilengkapinya UU No.31 Tahun 1999 dengan Aturan Peralihan , terkesan  telah terjadi kekosongan hukum sehingga tidak mustahil menimbulkan suatu pertanyaan dasar hukum yang akan bisa dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus perbuatan korupsi dalam era UU 3 Tahun 1971, namun penanganannya pada era UU No. 31 Tahun 1999.
Sedangkan dalam Pasal 44 UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan :
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Tetapi dalam Pasal 45 UU No.31 Tahun 1999 menyatakan :
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
            Maka dari uraian tersebut di atas, secara sepintas nampak kesan UU No. 3 Tahun 1971 tidak bisa digunakan lagi sejak tanggal diundangkannya UU 31 Tahun 1999, yaitu tanggal 16 Agustus 1999, sebab UU 31 Tahun 1999 tidak dilengkapi Aturan Peralihan, juga dengan merujuk asas umum dalam pasal 1 KUH Pidana, UU  Pidana hanya berjalan  ke depan dan tidak berlaku surut, maka UU No. 31 Tahun 1999 hanya dapat digunakan terhadap perbuatan korupsi yang terjadi setelah tanggal 16 Agustus 1999.
            Untuk mengatasi dilema demikian maka, aparat penegak hukum seyogianya merujuk pada Pasal 1 KUH Pidana, Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana menegaskan UU Pidana hanya berjalan ke depan dan tidak berlaku surut, perbuatan pidana diadili berdasarkan UU Pidana yang sudah ada sebelum perbuatan pidana itu terjadi, dan bukan berdasarkan UU Pidana yang  baru.
            Dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan pidana, maka Pasal 1 ayat (1 dan 2) KUH Pidana berfungsi sebagai Aturan Peralihan. Bila terjadi perubahan perundang-undangan pidana setelah perbuatan pidana dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkannya ketentuan yang paling meringankan terdakwa. Dengan merujuk pada rumusan tersebut di atas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 dan 2 KUH Pidana, maka berkaitan dengan dasar hukum yang dapat digunakan sebagai landasan menangani kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum berlakunya  UU  No. 31 Tahun 1999 diperoleh jalan keluar penyelesaiannya yang secara hukum dan dapat dipertanggungjawabkan yaitu :
1.      Berdasarkan rumusan tersebut di atas yaitu Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, maka aturan pidana yang dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menyidik, menuntut, dan mengadili Tindak Pidana korupsi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 adalah aturan pidana korupsi yang sudah ada saat kasus itu terjadi yaitu UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.      Undang-undang yang baru yaitu UU No. 31 Tahun 1999  ternyata  lebih  berat baik dari segi normatif maupun  sanksinya dari UU No. 3 Tahun 1971.
3.      Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana di atas, Aturan Pidana Korupsi yang lebih menguntungkan bagi tersangka adalah UU No. 3 Tahun 1971 daripada UU  No. 31 Tahun 1999.
Kesimpulan sementara dari bahasan di atas adalah :
1.      Bahwa penyebutan dalam Pasal 44 UU  No. 31 Tahun 1999 bahwa UU No. 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi adalah dalam pengertian apabila UU No. 3 Tahun 1971 dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menangani perbuatan korupsi yang terjadi atau dilakukan sebelum tanggal 16 Agustus 1999, maka dengan landasan prinsip hukum dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, maka UU No.3 Tahun 1971 masih dapat dipergunakan  sebagai dasar hukum penindakannya.
2.      Dengan demikian langkah hukum bagi penegak hukum yang ditempuh adalah dapat mempergunakan UU No. 3 Tahun 1971 sebagai dasar hukum untuk penanganan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi atau dilakukan sebelum tanggal 16 Agustus 1999.